Nah, kamu pasti ingat kan kalau Takitri itu nama majalah
kita, zaman dulu dicetaknya dengan stensilan, waktu dipegang Adit ’81 mulailah
itu majalah dicetak di percetakan.
Tulisanku pernah dimuat di Takitri 2 kali, itu juga
gara-gara Adit, kalau bukan karena Adit kawan sekelasku di 3 IPA 4, mana
mungkin tulisanku dimuat.
“Adit, gue mau bikin tulisan, dimuat dong di Takitri!”.
“Mana tulisan lo, sini gue muat”, jawabnya singkat dan
Adit selalu memenuhi janjinya.
Tulisan yang dimuat di Takitri dihargai 250 rupiah, sama
dengan harga majalah itu, sama dengan sepiring nasi rames bu Imron, tokoh yang
aku tulis waktu itu.
Warung bu Imron letaknya kira-kira 3 rumah dari pintu
gerbang ke arah kantor pajak, namun bangunan bersejarah berupa warung sudah tidak
berbekas nggak lama setelah angkatan kami meninggalkan Smandel. Aku menduga
setelah angkatan kami nggak ada lagi yang jajannya banyak.
Aku nggak pernah bosan makan di warung bu Imron, dengan
250 perak yang aku makan setiap hari selalu berganti-ganti, penuh variasi.
Contohnya hari Senin aku makan nasi dengan sayur, tahu, tempe, dan kerupuk,
Selasa makan tempe, kerupuk, nasi, tahu dan sayur, Rabu menuku sayur, tempe,
tahu, kerupuk dan nasi, begitu seterusnya setiap hari nggak pernah sama, mangkanya
nggak bakalan bosan.
![]() |
|
Sekarang aku tulis ulang nih yang ada di Takitri, nggak banyak kok, cuma 5
baris.
Omen : Bu nasi ada?
Bu Imron :
Ada
Omen :
Ayam ada nggak bu?
Bu Imron :
Ayam juga ada
Omen :
Kalau gitu ayamnya diusir dong bu, nanti nasinya dimakan ayam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar