Salah satu cara kami menghilangkan rasa kantuk dan lelah adalah
bermain cela celaan, yang biasa menjadi pelengkap penderita adalah
Hendra Pacet….. he he he kenapa dinamain Pacet karena emang bibirnya
kayak lintah, seperti biasanya dia pasrah menerima kenyataan, kadang
juga dia timpali. Cara lain adalah berhalusinasi tukang baso yang
menunggu di puncak. Sesekali kami meminta yang di depan untuk
melambatkan diri.
Jelang subuh sudah berada di puncak
Gede, jaket kesayanganku adidas berwarna merah menemani mengusir dingin
sambil mengurut kaki kami masing-masing. Matahari mulai membuka tabir
malam mulailah terlihat wajah teman yang kelelahan. Gaok membuka
ranselnya yang penuh makanan.
Kini perut kenyang, badan
kedinginan, mata mengantuk, di atas ponco kamipun tidur bersama dengan
ransel sebagai bantalnya. Tiba-tiba aku terbangun dan terkejut ketika
kusadari aku sudah meluncur sekitar 3 meter dari tempat semula ke arah
jurang diiringi derai tawa teman-teman, sepotong ranting menghentikan
lajuku. Aku kembali ke atas dibantu mereka.
Rupanya aku
tidur di tepi jurang, begitu mengantuknya sehingga tidak kuperhatikan.
Kalau tidak ada ranting pohon itu mungkin aku sudah lewat, rasa deg
degan terus bergema di dada, aku bersujud syukur masih diberi kesempatan
oleh Allah SWT.
Jam 9 an turun gunung, dengan membawa
edelweiss untuk koleksi yang sebetulnya dilarang. Perjalanan paling
menyenangkan karena terus menurun, terkadang berlari, jatuh-bangun.. wah
pokoknya seneng banget…
Tanpa terasa sudah sampai
Cibodas untuk naik truk lagi, di Cililitan kami berpisah Gaok balik ke
Tebet, Sulis ke Kayumanis, Pacet ke Klender, Pastur ke Pasar Minggu,
Daud ke Manggarai … di perjalanan pulang aku merenungi kejadian subuh
tadi, kalau nggak ada ranting… mungkin aku sudah LEWAT dan bukan aku
yang menulis cerita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar