Dress code halal bihalal
Smandelers di Pulau Dua yang diprakasai Ikatan Alumni Smandel nggak membuatku
bingung memilih baju. Army look aku nggak punya, warna putih nggak punya, warna
merah cuma ada 1, jadi yang itu aja yang aku pakai.
Dari balik panggung tempat
aku datang sudah kelihatan sekelompok manusia berpakaian warna merah atau
putih, dari tawa cekikiknya aku pastikan mereka adalah Smandelers. Mereka cekikikan
kayak kuda lumping. Eh, jangan marah! Kuda lumping kan manusia juga, emang kamu
mau dibilang cekikian kayak kuda beneran!.
Sederatan meja yang
disusun memanjang terisi mulai dari kiri ke kanan, aku salami satu per-satu, tak
lama mbak Tuti dan mbak Etty datang, mereka dari angkatan 1961 yang lulus tahun
1962, mereka sama-sama pernah nggak naik kelas. Dari seluruh angkatan mereka hanya 17
orang yang bisa naik kelas. Terlalu!.
Sesuai urutan aku
seharusnya duduk di samping Herin 87, tetapi tempat itu aku berikan kepada mbak
Etty dan mbak Tuti, bukannya aku takut Deni 87, suami Herin, cemburu, melainkan
karena aku lihat di atas meja itu piring yang berisi fillet ikan, ayam kremes,
udang goreng tepung dan cah kangkung sudah ludes dimakan duo Rudi dari angkatan
86. Terlalu!.
Joi dengan 3 rekannya dari
angkatan ‘95 membuat nuansa menjadi lebih segar, atau justru sebaliknya membuat
kami menjadi terlalu tua.
Pantas saja Smandelers
memilih lokasi di depan panggung, Roy ’86, Bakri ’80, Bowi ’87, dll bergantian
menyanyi. Seandainya saja pemilik restoran melarang mereka bernyanyi dengan
cara menyembunyikan mik sudah pasti menjadi pekerjaan sia-sia, soalnya mereka
sudah siap dengan membawa mik masing-masing dari rumah. Terlalu!.
DI HBH ini aku nggak perlu
berlari-lari untuk difoto. Percaya nggak aku malah diajak mereka berfoto dengan
sekelompok pria yang siap di depan kamera. Tumben!. Aku jadi curiga!.
“Eh, gue nggak mau
loh dikerjain!”.
“Nggak kok!. Cuma untuk
difoto”, Vivi ’90 meyakinanku, tetapi kalimatnya tidak berhenti sampai di situ,
“Inilah manusia kelas berat di Smandel!”. Terlalu!.
Nih, aku kasih tahu ya.
Nggak cuma perempuan yang nggak suka dibilang gemuk, laki-laki juga nggak suka
dibilang gemuk. Buatku perkataan tadi bisa menjadi cambuk untuk menjadi lebih
baik, juga perkatan dua perempuan berikut ini.
“Men, kok kamu kelihatannya
tambah gemuk!”, mbak Tuti bilang begitu.
“Iya, Men elo tambah gemuk!”,
Pipi ‘86 menambahi.
“Lihat aja 5 bulan lagi”,
aku seolah menantang mereka.
“Emang ada apa 5 bulan
lagi?”, kata mereka serempak.
“Gue tambah gemuk”.